Teruntuk Engkau Hei Kata-Kata!
Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (Rendra)
Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta adalah sebuah buku yang saya jadikan sebagai salah satu buku yang sejiwa dengan kondisi saya pada masa itu. Buku itu menjadi referensi karena memuat buku-buku lainnya yang kemudian saya tuntaskan satu persatu. Ada yang tuntas tetapi ada juga yang menggantung bahkan boleh jadi ada yang tidak saya baca sama sekali.
Pesona kata-kata kemudian menggiring saya pada berbagai percobaan-percobaan impian ini itu untuk diwujudkan. Dari kata mewujud karya kemudian menyebar ke sana sini. Kata-kata yang lahir dari berbagai macam pengalaman. Pengalaman manis dan pahit yang hadir menjadi inspirasi yang satu persatu tertuang dalam berbagai media. Sisanya saya simpan jauh-jauh dalam benak dan saya biarkan menguap saja. Kata yang tertulis meninggalkan jejak buat saya. Ada separuh diri yang tersisa dalam setiap tulisan. Separuh lainnya saya sisakan buat yang lain.
Saya masih ingat salah satu bagian yang terus menginspirasi tentang kata-kata yang menjadi tulisan. Inilah pengakuan, bahwa aku memilih dan mengabdi dengan tulus dengan tradisi menulis karena terlampau yakin bahwa kata-kata mampu menggerakkan orang lain. Hitler, Nico, Nasser, Soekarno hanyalah segelintir orang yang di tangan mereka kata-kata berubah menjadi mobilisasi. Kata-kata, selantang penyair Dorothea Rosa Damayanti, adalah sejenis senjata ampuh yang bisa membakar emosi seseorang atau bahkan mampu menggerakkan orang untuk membunuh. Juga mampu meluluhkan jiwa seorang perempuan. Sebab kata-kata, secuap Joko Pinurbo dalam puisinya bertitel ''Malam Pembreidelan'' adalah kupu-kupu yang berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna, adalah warna-warna yang berebut cahaya-cahaya, adalah cahaya-cahaya yang berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya. Kata adalah kekuatan dan juga kekuasaan. Itu sebabnya, jika ingin melestarikan kekuasaan dan memburu kekuasaan, maka kuasailah kata-kata.
Saya masih dalam kerinduan yang besar akan kata-kata ini. Tak jelas apa yang terjadi tapi kata-kata ini selalu membayangi saya kemanapun pergi. Tak jua pergi kala saya hendak memejamkan mata. Melayang-layang di atas kepala seolah saling memburu keluar ingin diwujudkan dalam kalimat kemudian menjadi sebuah tulisan. Dewi Lestari mengatakan bahwa menulis adalah perjalanan menuju satu kelahiran dan karya yang lahir ibarat air yang bergulir deras di lereng perasaan dan pikiran.
Pada akhirnya, saya memilih untuk mengalirkannya saja seperti yang ditulis Dewi Lestari. Karena mengalirkan sebagaimana apa adanya lebih ringan dibandingkan saya harus menahan-nahan untuk tetap diam saja di wilayah khayali. Sila mengalir ke mana pun engkau mau, hei kata-kata!
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata (Rendra)
Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta adalah sebuah buku yang saya jadikan sebagai salah satu buku yang sejiwa dengan kondisi saya pada masa itu. Buku itu menjadi referensi karena memuat buku-buku lainnya yang kemudian saya tuntaskan satu persatu. Ada yang tuntas tetapi ada juga yang menggantung bahkan boleh jadi ada yang tidak saya baca sama sekali.
Pesona kata-kata kemudian menggiring saya pada berbagai percobaan-percobaan impian ini itu untuk diwujudkan. Dari kata mewujud karya kemudian menyebar ke sana sini. Kata-kata yang lahir dari berbagai macam pengalaman. Pengalaman manis dan pahit yang hadir menjadi inspirasi yang satu persatu tertuang dalam berbagai media. Sisanya saya simpan jauh-jauh dalam benak dan saya biarkan menguap saja. Kata yang tertulis meninggalkan jejak buat saya. Ada separuh diri yang tersisa dalam setiap tulisan. Separuh lainnya saya sisakan buat yang lain.
Saya masih ingat salah satu bagian yang terus menginspirasi tentang kata-kata yang menjadi tulisan. Inilah pengakuan, bahwa aku memilih dan mengabdi dengan tulus dengan tradisi menulis karena terlampau yakin bahwa kata-kata mampu menggerakkan orang lain. Hitler, Nico, Nasser, Soekarno hanyalah segelintir orang yang di tangan mereka kata-kata berubah menjadi mobilisasi. Kata-kata, selantang penyair Dorothea Rosa Damayanti, adalah sejenis senjata ampuh yang bisa membakar emosi seseorang atau bahkan mampu menggerakkan orang untuk membunuh. Juga mampu meluluhkan jiwa seorang perempuan. Sebab kata-kata, secuap Joko Pinurbo dalam puisinya bertitel ''Malam Pembreidelan'' adalah kupu-kupu yang berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna, adalah warna-warna yang berebut cahaya-cahaya, adalah cahaya-cahaya yang berebut cakrawala, adalah cakrawala yang berebut saya. Kata adalah kekuatan dan juga kekuasaan. Itu sebabnya, jika ingin melestarikan kekuasaan dan memburu kekuasaan, maka kuasailah kata-kata.
Saya masih dalam kerinduan yang besar akan kata-kata ini. Tak jelas apa yang terjadi tapi kata-kata ini selalu membayangi saya kemanapun pergi. Tak jua pergi kala saya hendak memejamkan mata. Melayang-layang di atas kepala seolah saling memburu keluar ingin diwujudkan dalam kalimat kemudian menjadi sebuah tulisan. Dewi Lestari mengatakan bahwa menulis adalah perjalanan menuju satu kelahiran dan karya yang lahir ibarat air yang bergulir deras di lereng perasaan dan pikiran.
Pada akhirnya, saya memilih untuk mengalirkannya saja seperti yang ditulis Dewi Lestari. Karena mengalirkan sebagaimana apa adanya lebih ringan dibandingkan saya harus menahan-nahan untuk tetap diam saja di wilayah khayali. Sila mengalir ke mana pun engkau mau, hei kata-kata!
Di sini aku menunggumu, hei kata-kata! (dok. iden.web.id) |
0 Response to "Teruntuk Engkau Hei Kata-Kata!"
Posting Komentar