Mengenal Seni Dan Inspirasi Pendidikan Waldorf
Art,
Arunika,
Arunika Waldorf,
GSTT,
Indonesia,
Inspirasi,
Pendidikan Waldorf,
Sekolah,
sekolah alternatif,
sekolah waldorf
"You will not be good teacher if you focus only what you do and not upon who you are" (Rudolf Steiner)
Sebagai pendidik yang haus akan pendekatan-pendekatan alternatif dalam mendidik anak, saya mengikuti teman-teman rutin berdiskusi sepulang sekolah dalam sebuah kelompok studi. Dari banyak kajian ke sana ke mari, tertambatlah saya pada pendidikan waldorf. Waktu itu pencarian terbesarnya adalah pendidikan holistik. Pendidikan yang tidak hanya fokus pada sisi kognitif atau satu aspek kecakapan saja tetapi menyangkut keseluruhan aspek manusia. Mulai dari pikiran, perasaan, dan kehendak. Tidak hanya fokus pada masalah salah satu saja.
Sebagaimana yang sering didengungkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Tapi dalam praktiknya proses memanusiakan manusia ini belum menyentuh seluruh aspek manusia itu sendiri. Pendidikan waldorf yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner pada tahun 1919 di Jerman ini ternyata memberikan sisi-sisi yang menarik seputar pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi. Rudolf Steiner adalah seorang filsuf, pemikir pendidikan, dan tokoh antroposofi yang diminta membuat sekolah oleh Emil Moltz (pemilik pabrik rokok) di Waldorf Astoria. Sekolah ini diperuntukan anak-anak pegawai pabrik tersebut.
Rudolf Steiner menyanggupi dengan catatan sekolah harus terbebas dari intervensi pihak luar dalam menentukan kurikulum sesuai kebutuhan perkembangan anak. Sekolah tersebut kemudian terkenal menjadi Sekolah Waldorf. Di beberapa tempat disebut juga Sekolah Steiner.
Dalam mendidik guru, di sekolah waldorf berbeda dengan sekolah lainnya. Karena fokus pendidikannya adalah manusia, maka pelatihan guru Sekolah Waldorf lebih filosofis dari sekadar membicarakan teknis-teknis di dalam kelas.
Materi pelatihan guru waldorf, lebih mendasar, universal, dan melihat banyak sisi-sisi dalam perkembangan manusia. Alasan mendasar buat saya kenapa sedemikian berat dalam tuntutan menjadi guru karena sosok guru inilah yang akan membawa siswa/anak-anak/murid-murid menjadi manusia seutuhnya dikemudian hari. Artinya bagaimana seorang guru bisa mendidik anak-anak menjadi manusia yang baik jika dia tidak tahu bagaimana menjadi manusia yang mengemban tugas lahir ke dunia ini. Sampai di sini, Filosofis dan berat bukan?
Jangan khawatir, dalam pendidikan waldorf yang mendidik secara utuh, thinking, feeling, dan willing, semua materi berat itu menjadi mudah dikunyahnya. Salahsatunya dengan seni. Seni menghaluskan hal yang kasar. Seni membuat hal berat menjadi mudah dicerna. Seni menyeimbangkan antara proses berpikir dan merasa dan berkehendak.
Dalam konteks pendidikan anak, di sekolah dasar mulai dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA, proses masuknya pengetahuan ke dalam diri anak-anak itu berat. Secara filosofis, pengetahuan dari luar itu berat untuk memasuki kesadaran manusia. Wajar jika, anak-anak di jenjang SD jika terlalu dipaksakan berpikir, terlalu banyak menyasar thinking, dia bisa stress.
Penyeimbangnya adalah seni
Seni yang dilakukan di sekolah waldorf tidak terpaku pada satu bidang saja, misalnya melukis saja atau sculpture saja atau menyanyi saja atau apapun. Secara bergantian, anak-anak diajak untuk meresapi proses belajar lewat semua pengalaman berkesenian. Semua kegiatan (katakan saja itu seni atau berkarya) bermuatan yang filosofis. Tidak sekadar bikin ini itu tanpa makna.
Guru yang melakukan, harus memadai untuk mengetahui makna-makna tersebut. Misalnya pilihan warna saat kegiatan painting, ada hubungannya dengan temperamen. Mengetahui temperamen memungkinkan guru untuk bisa melakukan pengamatan secara utuh terhadap anak.
Hasil pengamatan guru pada karya anak bisa menjadi bahan diskusi dengan orangtua atau guru lainnya pada saat dibutuhkan.
Sebut saja salah satu contohnya yaitu wet on wet painting. Wet-on-wet painting atau biasa disebut juga dengan aquarelle painting adalah teknik melukis dilakukan dengan tidak berfokus pada hasil akhir saja, (apakah nanti si anak akan bisa membuat sebuah lukisan dg bentuk tertentu atau tidak), akan tetapi fokus tertuju pada proses pengalaman si anak tentang warna yang mereka goreskan di atas kertas tersebut.
Kertas yang sudah terlebih dahulu dibasahi dengan air, hal ini memungkinkan warna mengalir dan berubah, bercampur dengan warna lain dengan cara yang indah dan tak terduga, anak - anak pun bisa memiliki sebuah pengalaman tentang penemuan warna baru ketika dua warna bertemu. Karena fokus tidak terpaku pada bisakah anak melukis bentuk tertentu atau tidak, anak - anak akan merasa lebih bebas untuk menciptakan dan bereksperimen dengan menggunakan imajinasi yang mereka miliki.
Salah satu bentuk pengamatan seperti ini:
Kalau ada warna-warna kuat, bisa dikategorikan choleric.
Kalau warnanya lembut, bisa masuk ke sanguine.
Kalau sekiranya kelihatan satu sisi yg digambar lebih dulu bisa disebut Melancholic.
Kalau kebanyakan air, bisa masuk Phlegmatic.
Menarik bukan? Yah itulah kenapa saya jatuh cinta pada konsep pendidikan waldorf. Di Indonesia kini sudah mulai tumbuh kembali komunitas-komunitas belajar waldorf, misalnya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Solo, Bogor, Balikpapan, dan masih banyak lagi.
Sebagai pendidik yang haus akan pendekatan-pendekatan alternatif dalam mendidik anak, saya mengikuti teman-teman rutin berdiskusi sepulang sekolah dalam sebuah kelompok studi. Dari banyak kajian ke sana ke mari, tertambatlah saya pada pendidikan waldorf. Waktu itu pencarian terbesarnya adalah pendidikan holistik. Pendidikan yang tidak hanya fokus pada sisi kognitif atau satu aspek kecakapan saja tetapi menyangkut keseluruhan aspek manusia. Mulai dari pikiran, perasaan, dan kehendak. Tidak hanya fokus pada masalah salah satu saja.
Mengenal Seni dan Inspirasi Pendidikan Waldorf (iden.web.id) |
Sebagaimana yang sering didengungkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Tapi dalam praktiknya proses memanusiakan manusia ini belum menyentuh seluruh aspek manusia itu sendiri. Pendidikan waldorf yang dikembangkan oleh Rudolf Steiner pada tahun 1919 di Jerman ini ternyata memberikan sisi-sisi yang menarik seputar pendekatan pendidikan yang lebih manusiawi. Rudolf Steiner adalah seorang filsuf, pemikir pendidikan, dan tokoh antroposofi yang diminta membuat sekolah oleh Emil Moltz (pemilik pabrik rokok) di Waldorf Astoria. Sekolah ini diperuntukan anak-anak pegawai pabrik tersebut.
Rudolf Steiner menyanggupi dengan catatan sekolah harus terbebas dari intervensi pihak luar dalam menentukan kurikulum sesuai kebutuhan perkembangan anak. Sekolah tersebut kemudian terkenal menjadi Sekolah Waldorf. Di beberapa tempat disebut juga Sekolah Steiner.
Dalam mendidik guru, di sekolah waldorf berbeda dengan sekolah lainnya. Karena fokus pendidikannya adalah manusia, maka pelatihan guru Sekolah Waldorf lebih filosofis dari sekadar membicarakan teknis-teknis di dalam kelas.
Materi pelatihan guru waldorf, lebih mendasar, universal, dan melihat banyak sisi-sisi dalam perkembangan manusia. Alasan mendasar buat saya kenapa sedemikian berat dalam tuntutan menjadi guru karena sosok guru inilah yang akan membawa siswa/anak-anak/murid-murid menjadi manusia seutuhnya dikemudian hari. Artinya bagaimana seorang guru bisa mendidik anak-anak menjadi manusia yang baik jika dia tidak tahu bagaimana menjadi manusia yang mengemban tugas lahir ke dunia ini. Sampai di sini, Filosofis dan berat bukan?
Jangan khawatir, dalam pendidikan waldorf yang mendidik secara utuh, thinking, feeling, dan willing, semua materi berat itu menjadi mudah dikunyahnya. Salahsatunya dengan seni. Seni menghaluskan hal yang kasar. Seni membuat hal berat menjadi mudah dicerna. Seni menyeimbangkan antara proses berpikir dan merasa dan berkehendak.
Dalam konteks pendidikan anak, di sekolah dasar mulai dari jenjang TK, SD, SMP, dan SMA, proses masuknya pengetahuan ke dalam diri anak-anak itu berat. Secara filosofis, pengetahuan dari luar itu berat untuk memasuki kesadaran manusia. Wajar jika, anak-anak di jenjang SD jika terlalu dipaksakan berpikir, terlalu banyak menyasar thinking, dia bisa stress.
Penyeimbangnya adalah seni
Seni yang dilakukan di sekolah waldorf tidak terpaku pada satu bidang saja, misalnya melukis saja atau sculpture saja atau menyanyi saja atau apapun. Secara bergantian, anak-anak diajak untuk meresapi proses belajar lewat semua pengalaman berkesenian. Semua kegiatan (katakan saja itu seni atau berkarya) bermuatan yang filosofis. Tidak sekadar bikin ini itu tanpa makna.
Guru yang melakukan, harus memadai untuk mengetahui makna-makna tersebut. Misalnya pilihan warna saat kegiatan painting, ada hubungannya dengan temperamen. Mengetahui temperamen memungkinkan guru untuk bisa melakukan pengamatan secara utuh terhadap anak.
Hasil pengamatan guru pada karya anak bisa menjadi bahan diskusi dengan orangtua atau guru lainnya pada saat dibutuhkan.
Peserta Waldorf Grade School Teacher Training di Bandung sedang melakukan praktik wet on wet painting (iden.web.id) |
Kertas yang sudah terlebih dahulu dibasahi dengan air, hal ini memungkinkan warna mengalir dan berubah, bercampur dengan warna lain dengan cara yang indah dan tak terduga, anak - anak pun bisa memiliki sebuah pengalaman tentang penemuan warna baru ketika dua warna bertemu. Karena fokus tidak terpaku pada bisakah anak melukis bentuk tertentu atau tidak, anak - anak akan merasa lebih bebas untuk menciptakan dan bereksperimen dengan menggunakan imajinasi yang mereka miliki.
Salah satu bentuk pengamatan seperti ini:
Kalau ada warna-warna kuat, bisa dikategorikan choleric.
Kalau warnanya lembut, bisa masuk ke sanguine.
Kalau sekiranya kelihatan satu sisi yg digambar lebih dulu bisa disebut Melancholic.
Kalau kebanyakan air, bisa masuk Phlegmatic.
Menarik bukan? Yah itulah kenapa saya jatuh cinta pada konsep pendidikan waldorf. Di Indonesia kini sudah mulai tumbuh kembali komunitas-komunitas belajar waldorf, misalnya di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Bali, Solo, Bogor, Balikpapan, dan masih banyak lagi.
0 Response to "Mengenal Seni Dan Inspirasi Pendidikan Waldorf"
Posting Komentar