Pengalaman Mengajar Siswa Sekolah Terapung di Kamboja
“Traveling – it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.” – Ibn Battuta
Tiga tahun yang lalu saya berkesempatan melakukan misi perjalanan pendidikan di tiga negara Asia Tenggara yaitu Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Dari ketiga negara tersebut, salah satu yang berkesan adalah mengajar di kampung terapung. Misi pendidikan bersatu dengan sosial dan budaya. Saya mengajar sekaligus belajar bersama-sama penduduk setempat selama beberapa hari.
Floating Village atau Floating Kampong atau Kompong Phluk adalah sebuah tempat di Kamboja yang merupakan bagian tujuan wisata di Siem Riep. Rerata mereka menghabis waktu di Siem Riep untuk melihat matahari terbit di Angkor Wat kemudian melihat matahari terbenam di Kompong Phluk. Angkor Wat biasanya menjadi tujuan utama, Angkor Wat yang didirikan oleh murid Syailendra yang berhasil membangun Candi Borobudur di Indonesia.
Bersama seorang teman melakukan ini setelah awak kapal yang membawa kami ke tengah danau mengarahkan perahunya ke sebuah sekolah yang bernama Pre-School The Catolic Church Chong Khnes. Sekolah terapung di Tonle Sap. Tonle Sap adalah sebuah danau air tawar yang besar di Kamboja yang merupakan gabungan dari sungai dan danau besar. Danau ini terhubung dengan Sungai Mekong di Phnom Penh.
Sekolah di Kampung Terapung ini menampung anak-anak yatim yang orangtuanya meninggal karena badai, topan, dan bencana lainnya saat mereka mencari ikan ke tengah danau yang maha luas. Sebagai pejalan kaki dan pendidik, tentu saja tantangan mengunjungi anak-anak di sekolah terapung itu sangat menggugah. Maka bersiap dan berbekal kemampuan mendekati anak-anak, kami memberanikan diri untuk berada di tengah-tengah mereka pada hari itu.
Sebelum mencapai lokasi yang disebutkan, Kompong Phluk, perjalanannya sungguh sangat menantang. Dengan diantar perahu boat bersama seorang teman dari Siem Riep yang membawa kami bersama kendaraan khas-nya yaitu Tuk Tuk, kami melaju bersama dengan banyak rombongan juga yang akan menuju tengah danau.
Kamboja saat itu sedang memasuki masa kemarau. Cuacanya sangat panas, air putih mahal harganya, dan sungai yang menjadi akses jalan menuju Kompong Phluk mulai terasa mendangkal. Beberapa kali perahu yang kami tumpangi tersendat jalannya dan kru perahu bersiaga untuk menggiring ke arah yang lebih dalam. Setiap kali bertemu dengan kapal dari arah berlawanan, setiap kali itu juga kru kapal harus mendorong ke arah sungai yang dalam.
Selama perjalanan, kami melihat hilir mudik para penduduk Kompong Phluk dengan terampil menggunakan perahu kecilnya beraktivitas melewati perahu yang kami tumpangi. Sepanjang perjalanan, kami melihat batas-batas ketinggian air jika musim penghujan. Menurut seorang pengantar, jika hujan ketinggian bisa lebih dari 5 meter sambil menunjukkan ke arah pengukur ketinggian yang sesekali kami temui di kiri atau kanan kami.
Selepas sungai, terbentanglah dengan luas Danau Tonle Sap yang sangat luas. Beberapa rumah terapung sudah bisa kelihat dari jauh. Beberapa lembaga dunia seperti UNICEF tampak bisa terlihat dari tulisannya yang terpampang jelas di sebuah bangunan terapung. Sumbangan itu berupa bangunan sekolah terapung.
Sebelum menuju sekolah, perahu yang kami tumpangi singgah sejenak di Floating Market. Sebuah mini market sederhana yang menyediakan kebutuhan para penduduknya. Di Floating Market, kami bertemu seorang Volunteer dari Afrika yang mengajar bahasa Inggris di sekolah terapung. Dari dia, saya mendapatkan gambaran tentang anak-anak yang akan bersama kami di sekolah. Kondisi psikologisnya dan juga keadaan keluarganya yang meninggal karena badai atau juga topan di tengah danau dan menghilang tanpa kembali.
Setelah membeli beberapa bahan pokok seperti beras dan air bersih, kami melaju ke sekolah tersebut. Oh iya, air bersih. Walaupun berada di danau yang berlimpah air, tetapi air minum sangat langka. Air minum kemasan sangat mahal. Hal ini sebenarnya membuat saya berpikir tentang keajaiban yang Maha Kuasa. Air minum yang langka di tengah air danau yang jumlahnya melimpah ruah.
Sesampainya di sekolah, kami disambut oleh seorang guru yang mendampingi mereka. Sayangnya kemampuan bahasa Inggris yang terbatas membuat kami tidak bisa menggali banyak informasi dari dia. Berbeda dengan anak-anak, kami menggunakan bahasa universal yaitu bernyanyi. Kami mengajak mereka bernyanyi sederhana sebuah lagi dari Afrika yang nada dan melodinya sangat mudah. Dan ahaaa.. semua antusias bernyanyi dan menari bersama kami.
Di Pre-School The Catolic Church Chong Khnes, ada sekitar 20 orang anak. Mereka yang belajar bersama-sama setiap hari di tengah danau. Merasakan suasana belajar bersama mereka adalah pengalaman yang sangat berharga. Berbagi energi belajar dan semangat berbagi untuk anak-anak sangat terasa di sekolah ini. Setiap waktu sekolah ini membuka kesempatan kepada para Volunteer untuk bergabung dan mengajar anak-anak di Kompong Phluk. Mereka adalah anak-anak yang juga berhak mendapatkan keceriaan dan kebahagiaan di dunia. Pancaraan energi positif pembelajaran sangat terasa dari mata mereka. Semangat untuk terus mencari ilmu dan berbagi kebaikan.
Setelah selesai beraktivitas bersama mereka, saatnya berpamitan pulang. Pulang adalah bagian yang tetap harus bisa diterima oleh semua. Bahkan oleh anak-anak dan kami. Walau rasanya sedih, tetapi ada sedikit kebahagiaan karena sudah belajar bersama mereka di tempat yang tidak biasa.
Tiga tahun yang lalu saya berkesempatan melakukan misi perjalanan pendidikan di tiga negara Asia Tenggara yaitu Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Dari ketiga negara tersebut, salah satu yang berkesan adalah mengajar di kampung terapung. Misi pendidikan bersatu dengan sosial dan budaya. Saya mengajar sekaligus belajar bersama-sama penduduk setempat selama beberapa hari.
Floating Village atau Floating Kampong atau Kompong Phluk adalah sebuah tempat di Kamboja yang merupakan bagian tujuan wisata di Siem Riep. Rerata mereka menghabis waktu di Siem Riep untuk melihat matahari terbit di Angkor Wat kemudian melihat matahari terbenam di Kompong Phluk. Angkor Wat biasanya menjadi tujuan utama, Angkor Wat yang didirikan oleh murid Syailendra yang berhasil membangun Candi Borobudur di Indonesia.
Mengajar di Sekolah Terapung (www.iden.web.id) |
Sekolah di Kampung Terapung ini menampung anak-anak yatim yang orangtuanya meninggal karena badai, topan, dan bencana lainnya saat mereka mencari ikan ke tengah danau yang maha luas. Sebagai pejalan kaki dan pendidik, tentu saja tantangan mengunjungi anak-anak di sekolah terapung itu sangat menggugah. Maka bersiap dan berbekal kemampuan mendekati anak-anak, kami memberanikan diri untuk berada di tengah-tengah mereka pada hari itu.
Pre-School The Catolic Church Chong Khnes. (www.iden.web.id) |
Sebelum mencapai lokasi yang disebutkan, Kompong Phluk, perjalanannya sungguh sangat menantang. Dengan diantar perahu boat bersama seorang teman dari Siem Riep yang membawa kami bersama kendaraan khas-nya yaitu Tuk Tuk, kami melaju bersama dengan banyak rombongan juga yang akan menuju tengah danau.
Kamboja saat itu sedang memasuki masa kemarau. Cuacanya sangat panas, air putih mahal harganya, dan sungai yang menjadi akses jalan menuju Kompong Phluk mulai terasa mendangkal. Beberapa kali perahu yang kami tumpangi tersendat jalannya dan kru perahu bersiaga untuk menggiring ke arah yang lebih dalam. Setiap kali bertemu dengan kapal dari arah berlawanan, setiap kali itu juga kru kapal harus mendorong ke arah sungai yang dalam.
Kapal yang mengantarkan kami (www.iden.web.id) |
Selama perjalanan, kami melihat hilir mudik para penduduk Kompong Phluk dengan terampil menggunakan perahu kecilnya beraktivitas melewati perahu yang kami tumpangi. Sepanjang perjalanan, kami melihat batas-batas ketinggian air jika musim penghujan. Menurut seorang pengantar, jika hujan ketinggian bisa lebih dari 5 meter sambil menunjukkan ke arah pengukur ketinggian yang sesekali kami temui di kiri atau kanan kami.
Selepas sungai, terbentanglah dengan luas Danau Tonle Sap yang sangat luas. Beberapa rumah terapung sudah bisa kelihat dari jauh. Beberapa lembaga dunia seperti UNICEF tampak bisa terlihat dari tulisannya yang terpampang jelas di sebuah bangunan terapung. Sumbangan itu berupa bangunan sekolah terapung.
Sebelum menuju sekolah, perahu yang kami tumpangi singgah sejenak di Floating Market. Sebuah mini market sederhana yang menyediakan kebutuhan para penduduknya. Di Floating Market, kami bertemu seorang Volunteer dari Afrika yang mengajar bahasa Inggris di sekolah terapung. Dari dia, saya mendapatkan gambaran tentang anak-anak yang akan bersama kami di sekolah. Kondisi psikologisnya dan juga keadaan keluarganya yang meninggal karena badai atau juga topan di tengah danau dan menghilang tanpa kembali.
Setelah membeli beberapa bahan pokok seperti beras dan air bersih, kami melaju ke sekolah tersebut. Oh iya, air bersih. Walaupun berada di danau yang berlimpah air, tetapi air minum sangat langka. Air minum kemasan sangat mahal. Hal ini sebenarnya membuat saya berpikir tentang keajaiban yang Maha Kuasa. Air minum yang langka di tengah air danau yang jumlahnya melimpah ruah.
Sesampainya di sekolah, kami disambut oleh seorang guru yang mendampingi mereka. Sayangnya kemampuan bahasa Inggris yang terbatas membuat kami tidak bisa menggali banyak informasi dari dia. Berbeda dengan anak-anak, kami menggunakan bahasa universal yaitu bernyanyi. Kami mengajak mereka bernyanyi sederhana sebuah lagi dari Afrika yang nada dan melodinya sangat mudah. Dan ahaaa.. semua antusias bernyanyi dan menari bersama kami.
Di Pre-School The Catolic Church Chong Khnes, ada sekitar 20 orang anak. Mereka yang belajar bersama-sama setiap hari di tengah danau. Merasakan suasana belajar bersama mereka adalah pengalaman yang sangat berharga. Berbagi energi belajar dan semangat berbagi untuk anak-anak sangat terasa di sekolah ini. Setiap waktu sekolah ini membuka kesempatan kepada para Volunteer untuk bergabung dan mengajar anak-anak di Kompong Phluk. Mereka adalah anak-anak yang juga berhak mendapatkan keceriaan dan kebahagiaan di dunia. Pancaraan energi positif pembelajaran sangat terasa dari mata mereka. Semangat untuk terus mencari ilmu dan berbagi kebaikan.
Setelah selesai beraktivitas bersama mereka, saatnya berpamitan pulang. Pulang adalah bagian yang tetap harus bisa diterima oleh semua. Bahkan oleh anak-anak dan kami. Walau rasanya sedih, tetapi ada sedikit kebahagiaan karena sudah belajar bersama mereka di tempat yang tidak biasa.
0 Response to "Pengalaman Mengajar Siswa Sekolah Terapung di Kamboja"
Posting Komentar