Mengelola dan Mengantisipasi Kontroversi
“Within any important issue, there are always aspects no one wishes to discuss” George Orwell
Membaca pemikiran Prof Dr Otto Soemarwoto seorang pakar lingkungan dari Unpad, selalu menarik. Ada banyak sisi kajian dari setiap bukunya yang selalu saya kutip untuk sebuah tulisan. Dari sekian pakar lingkungan di Indonesia, Prof Otto adalah sosok yang saya kagumi karena pemikirannya lebih dekat, lebih mudah dimengerti dan membumi. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan pakar yang terlalu tinggi bahasannya sehingga sulit dimengerti oleh pembaca.
Dalam beberapa kesempatan diskusi, saya bertemu beliau sebelum meninggal pada tahun 2007. Salahsatu pemikiran menarik dalam buku Pembangunan Berkelanjutan, antara teori dan realitas, Unpad 2006 adalah tentang kontroversi setiap pembangunan. Dalam proses pembangunan selalu terjadi kontroversi pro dan kontra terhadap sebuah kebijakan dan pelaksanannya.
Di alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan. Kontroversi dapat menyempurnakan perencanaan pembangunan sebelum rencana itu diimplementasikan. Tetapi jika terjadi kontroversi berkepanjangan yang melelahkan, kontroversi itu menjadi kontra-produktif. ''Dalam alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan.''
Perbedaan pendapat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi terhadap sifat umum ataupun detil dan pengambilan sudut pandang yang berbeda serta dapat juga karena ilusi. Gambar di bawah ini menerangkan tentang perbedaan persepsi umum. Gambar ini dapat dilihat sebagai kepala seekor kelinci. Tetapi dapat juga dilihat sebagai kepala seekor bebek.
Dua persepsi yang sama sekali berbeda. Contoh kedua melukiskan tentang perbedaan sudut pandang yang diambil dari pewayangan Ramayana. Rama, raja Ayudya, adalah simbol kebaikan dan kebenaran. Rahwana, raja Alengka, adalah simbol keburukan dan kejahatan. Rahwana menculik Dewi Sinta, isteri Rama. Sebuah perbuatan jahat. Karena perbuatan itu terjadilah perang antara Rahwana dan Rama. Rahwana mempunyai dua orang adik: Kombakarna dan Wibisana. Kedua orang adik itu tidak menyetujui perbuatan kakaknya. Rahwana marah dan keduanya diusir dari keraton. Kombakarna tetap di Alengka dan berperang melawan Rama.
Dalam peperangan itu Kombakarna gugur. Wibisana pergi ke Rama dan berpihak kepadanya. Pertanyaannya ialah: siapakah yang benar? Kombakarna ataukah Wibisana? Jawabannya tergantung dari sudut pandang penjawab. Berdasarkan sudut pandang etika Wibisana benar, karena dia membela kebenaran. Sebaliknya Kombakarna salah karena dia membela kejahatan. Tetapi dari sudut pandang kenegaraan dan nasionalisme, Kombakarna adalah benar. Dia mati sebagai pembela negara. Dia seorang pahlawan. Dia bersikap right or wrong my country. Sebaliknya Wibisana salah. Dia seorang pengkhianat yang berpihak pada musuh yang menyerang negaranya.
Kedua contoh di atas memberi ilustrasi bahwa kita harus mengantisipasi akan adanya kontroversi tentang sebuah kebijakan pembangunan. Betapapun baiknya persiapan dan perencanaan sebuah kebijakan serta betapapun baiknya tujuan pembangunan itu, kemungkinan terjadinya sebuah kontroversi selalu ada. Jika terjadi kontroversi, kontroversi harus dikelola, bukannya diredam dengan kekuasaan yang dimiliki pembuat kebijakan.
Peredaman akan menimbulkan kekecewaan dan memperkuat sikap oposisi. Jika kekuasaan peredaman cukup kuat, peredaman dapat tercapai. Kontroversi seolah-olah tidak ada lagi. Tetapi kontroversi sebenarnya belumlah selesai. Dengan peredaman itu kesediaan kerjasama pihak oponen hilang atau bahkan ada usaha untuk menghambat pelaksanaan kebijakan itu. Lebih buruk lagi peredaman dapat merupakan api dapam sekam yang sewaktu-waktu bisa dapat meledak. Hal ini kita alami setelah terhapusnya kekuasaan otoriter dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Berbagai konflik yang ada dalam masyarakat tidak lagi terkendali dan pecahlah kerusuhan sosial yang bertubi-tubi. Pengelolaan kontroversi mensyaratkan adanya kesediaan pada pihak pembuat kebijakan yang berkuasa untuk berbicara dengan para pihak berkepentingan (Stakeholders), baik yang pro maupun yang kontra. Dialog itu akan memberi informasi kepada pihak pembuat kebijakan tentang kelebihan dan kekurangan kebijakannya itu. Informasi itu akan memperkaya pemahaman pihak pembuat kebijakan tentang makna kebijakannya dengan lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Informasi ini sangat berguna untuk memperbaiki kebijakannya itu ataupun untuk menyusun kebijakan lain. Pada lain pihak dialog itu juga memberi kesempatan kepada para pihak yang berkepentingan untuk mendalami maksud dan tujuan kebijakan pemerintah.
Mengelola kontroversi karena perbedaan persepsi ataupun perbedaan sudut pandang tidaklah mudah. Mengelola kontroversi karena ilusi sering lebih sulit lagi, karena argumen yang digunakan sering tidak rasional. Pengelolaan kontroversi dipersulit, apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan kontroversi itu untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Ibaratnya memancing di air yang keruh. Mengelola kontroversi memerlukan kesabaran, tenaga dan waktu, baik pada pihak penguasa, maupun pihak masyarakat. Sayangnya, keduanya sering tidak sabar. Para pembuat kebijakan sering ingin kebijakannya segera dilaksanakan dan pihak oponen tidak mau berkompromi. Akibatnya dapat terjadi kontroversi yang berkepanjangan yang melelahkan dan menambah biaya yang tidak sedikit.
Catatan ini disarikan dari buku Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: antar konsep dan realitas hal 24-28. Penerbit Universitas Padjadjaran, 2006.
Membaca pemikiran Prof Dr Otto Soemarwoto seorang pakar lingkungan dari Unpad, selalu menarik. Ada banyak sisi kajian dari setiap bukunya yang selalu saya kutip untuk sebuah tulisan. Dari sekian pakar lingkungan di Indonesia, Prof Otto adalah sosok yang saya kagumi karena pemikirannya lebih dekat, lebih mudah dimengerti dan membumi. Hal ini sangat berbeda misalnya dengan pakar yang terlalu tinggi bahasannya sehingga sulit dimengerti oleh pembaca.
Mengelola dan Mengantisipasi Kontroversi |
Di alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan. Kontroversi dapat menyempurnakan perencanaan pembangunan sebelum rencana itu diimplementasikan. Tetapi jika terjadi kontroversi berkepanjangan yang melelahkan, kontroversi itu menjadi kontra-produktif. ''Dalam alam demokrasi kontroversi adalah wajar, karena pemahaman orang per orang ataupun kelompok tentang kebijakan pembangunan dapat berbeda dan perbedaan itu boleh dinyatakan.''
Perbedaan pendapat dapat disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi terhadap sifat umum ataupun detil dan pengambilan sudut pandang yang berbeda serta dapat juga karena ilusi. Gambar di bawah ini menerangkan tentang perbedaan persepsi umum. Gambar ini dapat dilihat sebagai kepala seekor kelinci. Tetapi dapat juga dilihat sebagai kepala seekor bebek.
Bebek atau Kelinci? |
Dua persepsi yang sama sekali berbeda. Contoh kedua melukiskan tentang perbedaan sudut pandang yang diambil dari pewayangan Ramayana. Rama, raja Ayudya, adalah simbol kebaikan dan kebenaran. Rahwana, raja Alengka, adalah simbol keburukan dan kejahatan. Rahwana menculik Dewi Sinta, isteri Rama. Sebuah perbuatan jahat. Karena perbuatan itu terjadilah perang antara Rahwana dan Rama. Rahwana mempunyai dua orang adik: Kombakarna dan Wibisana. Kedua orang adik itu tidak menyetujui perbuatan kakaknya. Rahwana marah dan keduanya diusir dari keraton. Kombakarna tetap di Alengka dan berperang melawan Rama.
Dalam peperangan itu Kombakarna gugur. Wibisana pergi ke Rama dan berpihak kepadanya. Pertanyaannya ialah: siapakah yang benar? Kombakarna ataukah Wibisana? Jawabannya tergantung dari sudut pandang penjawab. Berdasarkan sudut pandang etika Wibisana benar, karena dia membela kebenaran. Sebaliknya Kombakarna salah karena dia membela kejahatan. Tetapi dari sudut pandang kenegaraan dan nasionalisme, Kombakarna adalah benar. Dia mati sebagai pembela negara. Dia seorang pahlawan. Dia bersikap right or wrong my country. Sebaliknya Wibisana salah. Dia seorang pengkhianat yang berpihak pada musuh yang menyerang negaranya.
Kedua contoh di atas memberi ilustrasi bahwa kita harus mengantisipasi akan adanya kontroversi tentang sebuah kebijakan pembangunan. Betapapun baiknya persiapan dan perencanaan sebuah kebijakan serta betapapun baiknya tujuan pembangunan itu, kemungkinan terjadinya sebuah kontroversi selalu ada. Jika terjadi kontroversi, kontroversi harus dikelola, bukannya diredam dengan kekuasaan yang dimiliki pembuat kebijakan.
Peredaman akan menimbulkan kekecewaan dan memperkuat sikap oposisi. Jika kekuasaan peredaman cukup kuat, peredaman dapat tercapai. Kontroversi seolah-olah tidak ada lagi. Tetapi kontroversi sebenarnya belumlah selesai. Dengan peredaman itu kesediaan kerjasama pihak oponen hilang atau bahkan ada usaha untuk menghambat pelaksanaan kebijakan itu. Lebih buruk lagi peredaman dapat merupakan api dapam sekam yang sewaktu-waktu bisa dapat meledak. Hal ini kita alami setelah terhapusnya kekuasaan otoriter dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru.
Berbagai konflik yang ada dalam masyarakat tidak lagi terkendali dan pecahlah kerusuhan sosial yang bertubi-tubi. Pengelolaan kontroversi mensyaratkan adanya kesediaan pada pihak pembuat kebijakan yang berkuasa untuk berbicara dengan para pihak berkepentingan (Stakeholders), baik yang pro maupun yang kontra. Dialog itu akan memberi informasi kepada pihak pembuat kebijakan tentang kelebihan dan kekurangan kebijakannya itu. Informasi itu akan memperkaya pemahaman pihak pembuat kebijakan tentang makna kebijakannya dengan lingkungan hidup, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Informasi ini sangat berguna untuk memperbaiki kebijakannya itu ataupun untuk menyusun kebijakan lain. Pada lain pihak dialog itu juga memberi kesempatan kepada para pihak yang berkepentingan untuk mendalami maksud dan tujuan kebijakan pemerintah.
Mengelola kontroversi karena perbedaan persepsi ataupun perbedaan sudut pandang tidaklah mudah. Mengelola kontroversi karena ilusi sering lebih sulit lagi, karena argumen yang digunakan sering tidak rasional. Pengelolaan kontroversi dipersulit, apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan kontroversi itu untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok. Ibaratnya memancing di air yang keruh. Mengelola kontroversi memerlukan kesabaran, tenaga dan waktu, baik pada pihak penguasa, maupun pihak masyarakat. Sayangnya, keduanya sering tidak sabar. Para pembuat kebijakan sering ingin kebijakannya segera dilaksanakan dan pihak oponen tidak mau berkompromi. Akibatnya dapat terjadi kontroversi yang berkepanjangan yang melelahkan dan menambah biaya yang tidak sedikit.
Catatan ini disarikan dari buku Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: antar konsep dan realitas hal 24-28. Penerbit Universitas Padjadjaran, 2006.
0 Response to "Mengelola dan Mengantisipasi Kontroversi"
Posting Komentar