4 Tantangan Pendidikan Alternatif
"Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education" (Rudolf Steiner)
Saya tidak bisa menggeneralisir bahwa setiap pendekatan pendidikan alternatif itu memiliki hanya sisi positif saja. Di sana juga ada sisi yang lain yang bisa dijadikana pembelajaran untuk semua. Sisi lainnya ini anggap saja sebagai tantangan. Sekolah bukan masalah pendekatannya yang alternatif atau tidak tapi cocok dan berjodoh dengan anak dan orang tua. Itu saja. Bisa jadi sekolah A cocok untuk keluarga A dan anak A sementara sekolah B cocok untuk keluarga B dan anak B. Semua memiliki keunikan masing-masing yang patut diapresiasi.
Belakangan ini dinamika pendidikan alternatif mengemuka ke permukaan ketika banyak pegiat mulai gencar membangun gerakan dan sekolah-sekolah alternatif bermunculan. Kemunculan yang sudah berlangsung lama sebenarnya tapi beda zaman tentu beda rasa. Pendidikan alternatif memunculkan peluang dan tantangan yang harus dihadapi. Tantangan-tantangan menarik ini berdasarkan pengamatan saya pada beberapa sekolah-sekolah alternatif di Kota Bandung.
1. Eksklusifitas
Salah satu tantangan yang menarik buat pegiat sekolah alternatif adalah ekslusifitas. Ketika keunikan sebuah sekolah dianggap sebagai daya tawar yang bisa menjadi penarik buat orangtua agar menyekolahkan ke sekolah tersebut, munculah batasan untuk orang lain mengakses sekolah tersebut. Beberapa sekolah yang awalnya terbuka kemudian menutup diri rapat-rapat agar tak bisa diakses oleh siapapun. Sisi ekslusifitas ini sangat menarik karena beberapa sekolah alternatif yang sudah lama berdiri, hampir melakukan hal yang sama tanpa disadari.
2. Jebakan Konvensional
Sekolah-sekolah swasta yang besar saat ini adalah sekolah-sekolah alternatif pada jaman dahulu ketika pertamakali muncul. Kehadirannya menjadi bagian dari kritik sekolah umum yang dibuat oleh pemerintahan. Mereka menawarkan sesuatu yang berbeda dari sekolah yang diberikan oleh pemerintah, misalnya kegiatan keagamaan yang lebih banyak, ekstrakulikuler yang menarik, dan segudang keunikan lainnya yang tidak ada di sekolah konvensional. Seiring waktu berjalan, sekolah swasta tersebut kemudian berubah menjadi terlihat sama dengan sekolah konvensional. Cara berpakaian sekalipun berbeda corak, tetapi semangatnya menjadi tak jauh beda dengan sekolah konvensional. Kegiatan pembelajaran di kelas menjadi tak jauh berbeda, guru berdiri ceramah seharian di depan kelas dan murid mendengarkan guru. Pembelajaran yang pasif buat anak-anak, ada jarak pemberi dan penerima yang kata Paulo Preirre seperti belajar gaya bank.
3. Standarisasi
Tantangan selanjutnya adalah lingkaran setan standarisasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai implementasai (katanya) pemerataan pendidikan, dalam rangka ISO, dalam rangka ini itu ini itu yang siap-siap melunturkan keunikan sebuah sekolah. Ada sekolah yang terkapar tak berdaya dengan standarisasi berbalut akreditasi tetapi ada juga yang bisa menyiasati. Yang terkapar oleh akreditasi kemudian berjalan sebagaimana mestinya, demi menjaga hubungan baik ke dinas, mendapatkan fasilitas dinas, mendapatkan penghargaan sebagai sekolah yang terbaik, sekolah terhebat, sekolah ter-lain-lainnya yang akhirnya menjadi sama persis dengan sekolah konvensional pada umumnya.. Standarisasi ini bisa jadi berubah bentuk misalnya tiba-tiba Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Indonesia membuat Dirjen Pendidikan Alternatif, disusunlah sebuah modul untuk menyamaratakan sekolah-sekolah alternatif yang sudah berdiri sebelumnya. Lucu sekali, bukan? Respon pemerintah terhadap fenomena pendidikan alternatif yang seperti yang sangat menggelikan.
4. Kolaborasi
Jangan salah pada titik tertentu kolaborasi bisa mematikan kreativitas sekolah alternatif jika tidak berhasl mengelolanya dengan baik. Menerima semua tawaran kolaborasi itu bagus tapi memilih dengan siapa saja berkolaborasi itu hak mutlak yang harus dipertahankan oleh sekolah alternatif agar nilai-nilai yang diperjuangkan tetap tumbuh. Selain itu tetap terjaga dari pengaruh yang mengatakan ini baik itu baik. Hati-hati terkontaminasi oleh nilai dari luar yang bisa menggoyahkan nilai-nilai sekolah yang sudah terbangun dengan baik. Jika kolaborasi dilakukan dengan baik serta mempertimbangkan banyak sisi, saya yakin sekolah alternatif tidak akan kehilangan ruhnya. Mari kita sebut banyak sekali lembaga pemerintahan yang hendak memasuki sekolah. Mereka menganggap segala sumber masalah di luar akibat salah urus pendidikan. Salahnya mereka tidak berkaca pada diri sendiri dan juga melihat lebih holistik bahwa yang lain juga butuh untuk dididik. Siswa sekolah rentan untuk disusupi berbagai kepentingan lembaga yang merasa semua salah pendidikan.
Nah, bisa jadi hal-hal di atas semacam jebakan betmen (mengutip kata-kata anak sekarang) atau juga tantangan buat beberapa pegiat pendidikan alternatif agar tetap berada di jalur yang tetap terjaga frekuensinya. Menjaga sebuah idealisme disebut seperti sedang memegang api, panas dan siap membakar apapun yang ada di sekitarnya. Ada yang tahan untuk terus memegang dan menularkan semangat idealisme tersebut keluar tetapi ada juga yang kemudian memadamkannya untuk kemudian berkompromi dengan keadaan sekitar. Melepaskan api, menyiramnya dengan ketundukan kepada apapun. Pilihannya memang berat tetapi yang berhasil memegangnya dan bisa membagikan semangat tersebut, dialah pemenangnya!
Menjaga semangat pendidikan alternatif memang tak mudah tetapi bukan berarti sulit. Membagikannya kepada orang lain adalah solusi terbaik agar semangat tersebut semakin menyala besar dan membakar semangat yang lainnya untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Belakangan ini dinamika pendidikan alternatif mengemuka ke permukaan ketika banyak pegiat mulai gencar membangun gerakan dan sekolah-sekolah alternatif bermunculan. Kemunculan yang sudah berlangsung lama sebenarnya tapi beda zaman tentu beda rasa. Pendidikan alternatif memunculkan peluang dan tantangan yang harus dihadapi. Tantangan-tantangan menarik ini berdasarkan pengamatan saya pada beberapa sekolah-sekolah alternatif di Kota Bandung.
4 Tantangan Pendidikan Alternatif (iden.web.id) |
1. Eksklusifitas
Salah satu tantangan yang menarik buat pegiat sekolah alternatif adalah ekslusifitas. Ketika keunikan sebuah sekolah dianggap sebagai daya tawar yang bisa menjadi penarik buat orangtua agar menyekolahkan ke sekolah tersebut, munculah batasan untuk orang lain mengakses sekolah tersebut. Beberapa sekolah yang awalnya terbuka kemudian menutup diri rapat-rapat agar tak bisa diakses oleh siapapun. Sisi ekslusifitas ini sangat menarik karena beberapa sekolah alternatif yang sudah lama berdiri, hampir melakukan hal yang sama tanpa disadari.
2. Jebakan Konvensional
Sekolah-sekolah swasta yang besar saat ini adalah sekolah-sekolah alternatif pada jaman dahulu ketika pertamakali muncul. Kehadirannya menjadi bagian dari kritik sekolah umum yang dibuat oleh pemerintahan. Mereka menawarkan sesuatu yang berbeda dari sekolah yang diberikan oleh pemerintah, misalnya kegiatan keagamaan yang lebih banyak, ekstrakulikuler yang menarik, dan segudang keunikan lainnya yang tidak ada di sekolah konvensional. Seiring waktu berjalan, sekolah swasta tersebut kemudian berubah menjadi terlihat sama dengan sekolah konvensional. Cara berpakaian sekalipun berbeda corak, tetapi semangatnya menjadi tak jauh beda dengan sekolah konvensional. Kegiatan pembelajaran di kelas menjadi tak jauh berbeda, guru berdiri ceramah seharian di depan kelas dan murid mendengarkan guru. Pembelajaran yang pasif buat anak-anak, ada jarak pemberi dan penerima yang kata Paulo Preirre seperti belajar gaya bank.
3. Standarisasi
Tantangan selanjutnya adalah lingkaran setan standarisasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai implementasai (katanya) pemerataan pendidikan, dalam rangka ISO, dalam rangka ini itu ini itu yang siap-siap melunturkan keunikan sebuah sekolah. Ada sekolah yang terkapar tak berdaya dengan standarisasi berbalut akreditasi tetapi ada juga yang bisa menyiasati. Yang terkapar oleh akreditasi kemudian berjalan sebagaimana mestinya, demi menjaga hubungan baik ke dinas, mendapatkan fasilitas dinas, mendapatkan penghargaan sebagai sekolah yang terbaik, sekolah terhebat, sekolah ter-lain-lainnya yang akhirnya menjadi sama persis dengan sekolah konvensional pada umumnya.. Standarisasi ini bisa jadi berubah bentuk misalnya tiba-tiba Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Indonesia membuat Dirjen Pendidikan Alternatif, disusunlah sebuah modul untuk menyamaratakan sekolah-sekolah alternatif yang sudah berdiri sebelumnya. Lucu sekali, bukan? Respon pemerintah terhadap fenomena pendidikan alternatif yang seperti yang sangat menggelikan.
4. Kolaborasi
Jangan salah pada titik tertentu kolaborasi bisa mematikan kreativitas sekolah alternatif jika tidak berhasl mengelolanya dengan baik. Menerima semua tawaran kolaborasi itu bagus tapi memilih dengan siapa saja berkolaborasi itu hak mutlak yang harus dipertahankan oleh sekolah alternatif agar nilai-nilai yang diperjuangkan tetap tumbuh. Selain itu tetap terjaga dari pengaruh yang mengatakan ini baik itu baik. Hati-hati terkontaminasi oleh nilai dari luar yang bisa menggoyahkan nilai-nilai sekolah yang sudah terbangun dengan baik. Jika kolaborasi dilakukan dengan baik serta mempertimbangkan banyak sisi, saya yakin sekolah alternatif tidak akan kehilangan ruhnya. Mari kita sebut banyak sekali lembaga pemerintahan yang hendak memasuki sekolah. Mereka menganggap segala sumber masalah di luar akibat salah urus pendidikan. Salahnya mereka tidak berkaca pada diri sendiri dan juga melihat lebih holistik bahwa yang lain juga butuh untuk dididik. Siswa sekolah rentan untuk disusupi berbagai kepentingan lembaga yang merasa semua salah pendidikan.
Nah, bisa jadi hal-hal di atas semacam jebakan betmen (mengutip kata-kata anak sekarang) atau juga tantangan buat beberapa pegiat pendidikan alternatif agar tetap berada di jalur yang tetap terjaga frekuensinya. Menjaga sebuah idealisme disebut seperti sedang memegang api, panas dan siap membakar apapun yang ada di sekitarnya. Ada yang tahan untuk terus memegang dan menularkan semangat idealisme tersebut keluar tetapi ada juga yang kemudian memadamkannya untuk kemudian berkompromi dengan keadaan sekitar. Melepaskan api, menyiramnya dengan ketundukan kepada apapun. Pilihannya memang berat tetapi yang berhasil memegangnya dan bisa membagikan semangat tersebut, dialah pemenangnya!
Menjaga semangat pendidikan alternatif memang tak mudah tetapi bukan berarti sulit. Membagikannya kepada orang lain adalah solusi terbaik agar semangat tersebut semakin menyala besar dan membakar semangat yang lainnya untuk tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Tulisan ini adalah salah satu usaha membagikan semangat pendidikan alternatif di Indonesia. Sebagaimana yang saya yakini dan imani, dengan membagikan maka semakin kuat nilai-nilai pendidikan tertanam dan jiwa dan diri Indonesia.
Bisa jadi saya salah, percaya diri anda!
0 Response to "4 Tantangan Pendidikan Alternatif"
Posting Komentar