Berpikir Ulang Sekolah dan Pendidikan Yang Manusiawi
Buku,
Inspirasi,
pendidikan,
Pendidikan Alternatif,
Pendidikan Holistik,
Pendidikan Waldorf,
Resensi
“Our highest endeavor must be to develop free human beings who are able of themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three forces are the very nerve of education.”
Membicarakan sekolah dan pendidikan manusia
adalah dua hal yang tidak bisa dibedakan. Keduanya memiliki peran yang sangat
penting dalam perkembangan zaman. Sekolah sebagai institusi pendidikan sering
kali dituduh sebagai biang dari kegagalan dalam mendidik manusia. Sekolah
terkesan hanya mencetak lulusan yang dibutuhkan industri. Ketika industri
terbatas, berkeliaranlah manusia-manusia yang dulunya dianggap berpendidikan.
Proses menjadi mandeg karena kebutuhan industri akan manusia tidak sebanding
dengan banyaknya lulusan. Ada yang bertahan dengan cara berwirausaha, sisanya
menganggur. Dari sini pikiran perihal sekolah untuk manusia mulai muncul. Sekolah
dibutuhkan untuk memanusiakan manusia. Manusia yang awalnya tidak terdidik
kemudian lahir menjadi manusia terdidik yang tahu akan tujuan hidupnya.
Lewat proses pendidikan di sekolah, seorang manusia kemudian terlahir menjadi manusia-manusia yang memiliki kapasitas diri dalam menjalani kehidupan sebagai apapun perannya di dunia ini. Tak mesti menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta, selama ia menikmati lahir dan bathin, ia sudah menjadi manusia terdidik yang dibutuhkan oleh dunia ini. Mengutip Tan Malaka tentang tujuan pendidikan ini adalah untuk menajamkan pikiran, menguatkan tekad, dan menghaluskan perasaan. Sudahkah sekolah atau pendidikan kita menghasilkan lulusan yang demikian?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seputar pendidikan, filosofi, dan praktik yang baik untuk memanusiakan manusia dan sekolah yang dijawab dalam buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia karya Haidar Bagir ini. Dibuka dengan sebuah impian dari penulis yang sangat indah. Sebuah kondisi ideal ketika persaingan berubah menjadi kolaborasi, kehangatan antar satu keluarga dengan yang lain, teknologi yang hadir membantu manusia dalam pekerjaan kasar dan manusia berkembang kearah kemuliaan yang tidak bisa dicapai sebelumnya. Sungguh sangat ideal dan tidak ada salahnya jika secara pribadi mimpi itu juga menjadi mimpi semua pegiat pendidikan yang terus dipupuk bersama di sekolah.
Lewat proses pendidikan di sekolah, seorang manusia kemudian terlahir menjadi manusia-manusia yang memiliki kapasitas diri dalam menjalani kehidupan sebagai apapun perannya di dunia ini. Tak mesti menjadi pegawai negeri atau pegawai swasta, selama ia menikmati lahir dan bathin, ia sudah menjadi manusia terdidik yang dibutuhkan oleh dunia ini. Mengutip Tan Malaka tentang tujuan pendidikan ini adalah untuk menajamkan pikiran, menguatkan tekad, dan menghaluskan perasaan. Sudahkah sekolah atau pendidikan kita menghasilkan lulusan yang demikian?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seputar pendidikan, filosofi, dan praktik yang baik untuk memanusiakan manusia dan sekolah yang dijawab dalam buku Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia karya Haidar Bagir ini. Dibuka dengan sebuah impian dari penulis yang sangat indah. Sebuah kondisi ideal ketika persaingan berubah menjadi kolaborasi, kehangatan antar satu keluarga dengan yang lain, teknologi yang hadir membantu manusia dalam pekerjaan kasar dan manusia berkembang kearah kemuliaan yang tidak bisa dicapai sebelumnya. Sungguh sangat ideal dan tidak ada salahnya jika secara pribadi mimpi itu juga menjadi mimpi semua pegiat pendidikan yang terus dipupuk bersama di sekolah.
Pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni, mengaktualkan berbagai potensi untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan bahagia. Yakni manusia-manusia yang memiliki kehidupan penuh makna, bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri (hal 34). Memaknai kehidupan semestinya menjadi bagian integral yang selalu diantarkan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Tanpa memaknainya, setiap pelajaran akan hilang begitu saja atau ia hanya akan lewat sebagai sebuah kewajiban seorang pelajar bukan sebagai manusia yang sedang belajar tentang kehidupan.
Jika dirunut lebih jauh, proses memaknai ini adalah pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya. Ia adalah karunia yang diberikan Tuhan untuk manusia. Sebagaian mampu menjadikan sebagai perangkat belajar baik oleh guru maupun siswa. Sekolah harus mampu mengantarkan pembelajaran sampai titik memaknai. Membiasakan setiap makna pembelajaran sampai kepada anak dan secara perlahan anak terbiasa memaknai hal yang terjadi dalam hidupnya.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan pikiran, perasaan, dan tindakan dalam menjalani kehidupannya harus terus mengoptimalkan ketiga potensi ini. Lewat latihan keseharian di kelas, semua sisi dilatih secara bertahap. Haidar Bagir menuliskan bahwa kegagalan pendidikan ini salah satunya adalah hanya mengembangkan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia saja. Bukan potensi kecerdasan kognitif saja tetapi juga kecerdasan sosial yang harus dibangun.
Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan
kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan
anak-anak kita tak memiliki kemampuan mengembangkan emosi positif dan empati,
yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah
dan menyerah, mudah “galau”, tak punya solidaritas sosial – padahal, pertemanan
merupakan sumber, bukan hanya kesuksesan, melainkan kebahagiaan. Sementara itu
kegagalan mengembangkan kecerdasan ruhaniah membuat anak kita tidak bahagia
akibat keterasingan sumber-keberadaannya sekaligus, meminjam William James,
Kawan-Agung (The Great Socius)-nya.
Berapa banyak keluhan-keluhan baik orang tua maupun siswa yang belajar di
sekolah karena merasa anaknya lebih banyak di warnet atau bermain gawai saat di
rumah dibandingkan dengan bermain atau melakukan hal yang semestinya dilakukan
pada usia sekolah.
Pada bahasan pentingnya kecerdasan emosi ini, penulis menyatakan bahwa kesuksesan materialistis sekalipun ditunjang oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence menyatakan “… kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis… kompetensi emosional kita menunjukan berapa banyak potensi kita yang sudah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa digunakan saat bekerja” (Hal 38). Betapa sisi kecerdasan emosi ini jarang sekali disentuh dalam pendidikan yang mengutamakan segalanya di sisi aspek kognitif. Seolah tidak peduli dengan kecerdasan emosi karena nilai akhir sekolah adalah sebuah angka-angka di raport untuk menggambarkan hasil belajar anak di sekolah.
Sekolah Arunika Waldorf (iden) |
Pendidikan Alternatif
Dalam buku ini, Haidar Bagir menyampaikan
beberapa contoh di negara yang sudah mulai memikirkan ulang perihal pendekatan
pendidikan dari konvensional ke pendekatan yang lebih manusiawi. Kita sebut
saja sebagai bentuk pendidikan alternative yang sudah berhasil dilakukan di
beberapa Negara. Jika sebelumnya sudah sangat popular dengan Finlandia yang
menjadi kiblat pendidikan baik, Haidar Bagir menunjukan sisi lain dari
pendidikan di China. Pendidikan di China yang awalnya sangat fokus pada
kompetensi, serba-spesialisasi pada tahap awal meniru menjadi pandu dalam
bidang teknologi dengan membuat lulusan yang disebut memiliki keterampilan abad
21. Seperti kreativitas, kemampuan beradaptasi, kolaborasi, komunikasi,
berpikir kritis, kewiraswastaan, dan kecerdasan kultural. Yakni, kemampuan yang
tidak dimiliki oleh komputer atau kecerdasan buatan.
Masuknya sekolah waldorf yang dikembangkan dari
seorang pemikir, Rudolf Steiner juga sedikit banyak memberikan sentuhan yang
tidak ada dalam filosofi pendidikan sebelumnya. Sekolah waldorf yang pernah
menjadi bahan perbincangan karena para petinggi di Silicon Valley memilih
sekolah yang tidak ada komputer dalam pembelajarannya sementara teknologi di
Silicon Valley sangat mendunia. Sesuatu yang sangat ironis tapi memang itulah
kenyataannya, sekolah waldorf sebagai sekolah alternative mampu memberikan
pendidikan yang manusiawi. Lewat kegiatan kesehariannya serta kajian-kajian
mendalam seputar perkembangan anak yang dilakukan di sekolahnya.
Untuk menyebarkan semangat dan filosofi
pendidikan yang holistis di Indonesia, rasanya tidak ada yang tidak mungkin.
Sekolah-sekolah alternative di beberapa kota di Indonesia mulai menunjukan
eksistensinya. Orang tua yang merasa kebutuhan pendidikan untuk anaknya juga
mulai banyak yang berpikir ulang perihal filosofi pendidikan. Jatuhnya pada
pilihan sekolah alternative menjadi angin segar bagi negara ini dengan catatan
tidak menyeragamkan sekolah-sekolah alternative yang sudah ada. Alih-alih menyeragamkan lewat standardisasi,
negara harus mengakui keunikan yang dari sekolah alternative ini selama tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan Pancasila. Keberagaman sekolah
alternative akan memberikan warna baru dalam mendidik anak-anak Indonesia yang
lebih manusiawi.
Sekolah Bukan Bengkel
Paradigma yang salah ketika menganggap sekolah
sebagai bengkel yang akan mereparasi setiap kerusakan. Peran orang tua tetap
besar dalam pendidikan anak. Orang tua tidak bisa sepenuh menyerahkan urusan
pendidikan hanya kepada pihak sekolah dengan alasan sudah membayar. Hubungan
rumah dan sekolah yang baik akan menghasilkan dinamika yang sehat untuk
keduanya. Orang tua, anak, dan guru (sekolah) menjadi selaras sehingga tujuan
pendidikan.
Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa
kesalahan terbesar dalam hal ini paling-paling terbatas pada kekeliruan
prioritas atau kesempitan persfektif dalam memandang tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan adalah untuk mempersiapkan orang-orang yang sukses dalam kariernya,
dan bukan untuk mencapai kebahagiaan hidup—bagi diri sendiri, termasuk bagi
sesama—yang membutuhkan jauh lebih banyak dari sekadar keterampilan
mengembangkan karier (hal 146).
Kesalahan dalam memandang ini juga kerap terjadi
di sekolah. Misalnya pemisahan siswa
yang berprestasi pada kelas-kelas unggulan sementara yang lain disatukan dalam
kelas non-unggulan. Hal ini terlihat seperti membuat kelas menjadi seragam dan
mudah untuk dikendalikan oleh guru karena seolah-olah anak menjadi cepat untuk
menguasai pelajaran. Di kelas yang demikian tidak ada anak yang dilabeli ‘‘nakal’’.
Biasanya yang disebut ‘’nakal’’ tersebut akan di tempatkan di kelas lain.
Alhasil, anak tidak belajar dinamika pertemanan satu sama lain. Keragaman dalam
diri anak adalah kekayaan yang harusnya menjadi bahan pelajaran bagi anak
lainnya.
Sekolah adalah tempat gagal, tempat di mana
anak belajar salah satu pelajaran hidup yang akan terus menjadi bagian penting
untuk diambil pelajarannya. Seorang anak yang terbiasa bangkit setelah
mengalami kegagalan akan membuatnya semakin kuat di masa yang akan datang.
Pembiasaan mengambil pelajaran, memaknai, kemudian menariknya ke kesadaran yang
lebih tinggi akan membuat ia mampu bertahan dan bangkit lagi. Ini yang disebut
sebagai pendidikan karakter oleh penulis.
Di luar semua isu pendidikan yang tidak ada
habisnya seperti polemik Ujian Nasional, penting atau tidaknya, filosofi
pendidikan, banyak sekali bahasan menarik dalam buku ini. Terpenting yang
dicatat, buku ini buat saya membawa semangat kebijaksanaan manusia di bumi ini.
Semangat yang sama dengan filosofi pendidikan di sekolah-sekolah waldorf.
Semoga kehadiran buku ini membuka mata dan kesadaran kita tentang pentingnya
memikirkan ulang sekolah dan pendidikan manusia.
Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (mizanstore.com) |
0 Response to "Berpikir Ulang Sekolah dan Pendidikan Yang Manusiawi"
Posting Komentar