Kenapa Harus Chairil Anwar?
Kalau sampai waktuku,
kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang(Petikan puisi Aku karya Chairil Anwar)
Kalau saja guru SD melewatkan bagian membaca puisi Aku, mungkin sekarang akan lupa siapa itu Chairil Anwar dan bagaimana puisi membawa banyak keindahan dalam bahasa.
Selengkapnya kutuliskan lagi puisi Aku dalam catatan sekarang.
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
Maret 1943
Tahun-tahun berlalu namun ingatan akan puisi itu tak pernah lekang. Ia terus seperti mengikuti setiap perjalanan. Seolah ia menghantui untuk dibacakan terutama penekanan pada 'tidak juga kau' sambil menunjuk pada satu orang yang menatap nanar!
"Kenapa harus aku" kata dia yang ditunjuk. "Enggak tahu, pokoknya ketika aku baca bagian itu, kamu yang paling depan yang paling mudah aku tunjuk"
"Terus kenapa harus aku, apa salahku?" Ia masih tidak percaya dan yakin dengan jawaban awal. Akhirnya aku jawab saja sekenanya.
"Karena kamu yang duduk di depan. Salahmu duduk paling depan hingga mudah aku tunjuk!" Demikian tak ada lagi pertanyaan. Ia mungkin menyesal kenapa duduk paling depan.
Ah. Masih ingat pula jika kuliah selalu duduk paling pojok. Kalau enggak paling belakang, minimal gak terlalu depan. Jangan sampai kelihatan sama dosen. Biar yang di depan yang mau serius kuliah saja. Aku kan main-main masuk kelas untuk mengisi waktu di antara main-main lainnya.
Nah, kembali ke puisi Chairil Anwar yang terus terngiang di telinga sampai saat ini. Perkenalan selanjutnya dengan tokoh puisi angkatan pujangga lama, pujangga baru, dan kemudian kepada sastrawan zaman now. Aku sebut saja demikian karena mereka lahir saat ini dan karya mereka terus menerus menghiasi media online sekarang. Banyak sekali sastrawan zaman now yang tak kalah menarik.
Aku suka sekali karya Aan Mansyur, Joko Pinurbo, dan para penulis puisi muda yang terus menerus melahirkan karya-karyanya. Perjalanan ibadah puisi kalau kata Joko Pinurbo itu selalu menarik. Kadang begitu dalam dan bermakna namun tak jarang juga kocak, ringan, dan mengundang tawa sekaligus decak kagum. Baca saja bagaimana Joko Pinurbo menuliskannya dalam novel Srimenanti yang ringan, unik, dan mengasyikkan untuk mengikuti langkah seorang sastrawan muda.
Lalu kenapa harus Chairil Anwar? Gak tahu. Sejujurnya aku gak tahu jawabannya kenapa harus Chairil Anwar. Bisa jadi sebenarnya aku juga gak tahu kenapa judul tulisan ini harus kutulis demikian.
Ah sudahlah, aku cukupkan sampai sini saja mengapresiasi puisi di hari puisi ini. Tak ada yang kebetulan. Kemarin kutemukan secarik puisi kecil dalam perangko yang dikeluarkan oleh PT Pos Indonesia lalu ternyata hari ini harus menulis tentang perjalanan berpuisi.
Kenap harus Khairil Anwar...
BalasHapusKaren fenomenal mungkinnnn... Hehe.
Kenapa nggak saya... Karena saya nggak fenomenal hehe. Begitu kali ya