Odisseus, Siren, dan Kuasa Atas Tubuh
“Never. All I have in mind and devise for you are the very plans I’d fashion for myself if I were in your straits.” (Odisseus)
Akhir pekan selalu asyik dengan membaca apa pun. Baik buku, majalah, koran, dan tabloid atau media cetak lainnya. Teman saya ada yang khusus langganan koran di akhir minggu saja. Ia beralasan bahwa akhir minggu selain waktu yang luang untuk membaca juga saripati dari cerita minggu yang sudah berlalu diendapkan pada akhir minggu.
Doktrin ini seolah menempel pada diri saya. Alhasil, selepas olah raga ringan di luar maka kegiatan asyik selanjutnya adalah membaca dan menulis. Kadang koran atau majalah yang berserakan mengundang berbagai kepenasaran saya untuk membuka kembali satu persatu kemudian menebalkan atau memberi tanda pada beberapa bagian yang penting.
Nah, salah satu bagian penting ini adalah kisah Odisseus yang saya dapatkan dari catatan pinggir Goenawan Mohamad di majalah Tempo.
Odisseus, Raja Ithaca, berlayar pulang dari Perang Troya. Pada suatu hari, kapalnya melewati sebuah pulau di mana terdengar nyanyian Suren, mahluk setengah burung setengah perempuan. Orang tahu, suara ajaib mereka bisa merayu para pelaut agar turun bergabung dengan mahluk alam itu dan tak mau pulang. Tadi Odisseus siap. Ia perintahkan para awak kapal menutup rapat-rapat kuping, sementara ia sendiri -yang ingin menikmati nyanyian Siren- minta diikat erat ke tiang pokok. Itulah strateginya: bila nanti mendengar nyanyian itu dan tergoda, ia akan tetap berada dalam kapal. Odisseus berhasil. Ia mengkalkulasi kemungkinan dengan cerdik.
Odisseus: orang Ithaca ini menggunakan ketajaman akal instrumental, akal manusia yang terarah untuk mendapatkan hasil dengan efisien. Odisseus, yang lama berpisah dengan istri dan istananya, sukses, dengan menaklukkan tubuhnya: mengikatkan diri pada tiang kapal. Ia juga berhasil karena ia, penguasa kapal, mendominasi orang lain: ia melarang kelasinya menikmati nyanyian Siren. Dan ia menang atas alam yang hidup, Siren.
Dalam catatan pinggirnya, Goenawan Mohamad lantas menganalogikan Odisseus ini layaknya seorang pebisnis dalam masyarakat borjuis: ia maju dengan risiko yang diperhitungkan, menahan diri dan mengontrol tubuhnya, seraya tetap mencicipi kenikmatan. Odisseus "menuruti asas kuno yang mendasari masyarakat borjuis, ia harus cerdik, atau habis".
Saya melihat sisi bagaimana Odisseus menguasai dirinya dan tahu akan risiko yang terjadi ini sangat menarik. Bagaimana sekarang masih terjadi dalam kehidupan ini orang-orang yang tidak berhasil memiliki kuasa atas tubuhnya. Mari sejenak merenung kapan kita kuasai tubuh kita seutuhnya? Kapan kita kembali ke dalam diri kita untuk memutuskan segala sesuatu yang akan diambil.
Saya masih merenung perihal kuasa diri sendiri pada tubuh yang secara fisik ini terlihat. Seperti sangat mudah untuk menguasai tubuh padahal kenyataannya sangatlah menantang -untuk kata sulit- dilakukan setiap hari. Kadang kita dikendalikan oleh kekuatan luar untuk melakukan segala sesuatu. Kita tidak memiliki kesadaran dalam memutuskan bertindak.
Di sekolah, kuasa atas tubuh ini adalah sebuah tahapan belajar yang harus dikuasai oleh anak didik. Berapa sekolah yang masih peduli untuk menerapkan setiap proses kegiatan sebagai bentuk membangun kesadaran diri, membangun kuasa atas tubuhnya. Berapa dari orang tua yang mampu dengan kesadarannya melakukan pendidikan kepada anaknya dalam menguasai tubuhnya.
Pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan bukan semata-mata sekolah. Jika harus memilih sekolah maka pilihlah sekolah yang memiliki kapasitas untuk membangun manusianya. Pendidikan yang utuh, holistik, dan manusiawi. Karena pendidikan yang demikian mengantarkan peserta didiknya baik guru, orang tua, dan murid ke arah proses menjadi manusia seutuhnya yang memiliki kesadaran atas tubuh sebaik-baiknya. Dalam catatan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak: dalam pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Mari kita kembali ke dalam, memberi ruang untuk menjadi penguasa atas tubuh kita sendiri seperti Odisseus yang dengan kesadarannya mampu melewati tantangan namun tetap sambil menikmati proses yang terjadi.
Menarik sekali kajian ini, selalu ada sisi lainnya
BalasHapus