Pendidikan, Teknologi, dan Manusia
“Our
highest endeavor must be to develop free human beings who are able of
themselves to impart purpose and direction to their lives. The need for
imagination, a sense of truth, and a feeling of responsibility—these three
forces are the very nerve of education.” (Rudolf Steiner)
Keberadaan teknologi
sekarang menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa lagi ditolak kehadirannya
di antara kita sebagai manusia. Nyaris hampir seluruh kegiatan manusia kini
bersentuhan dengan teknologi. Hal yang rumit di masa lalu sekarang menjadi hal
yang mudah. Jarak yang jauh terasa menjadi dekat. Waktu tempuh yang lama terasa
bisa dipangkas secepat-cepatnya. Banyak sekali perubahan yang menjadi dulu
hanya sebatas imajinasi, kini menjadi kenyataan.
Segala aspek dirambah
oleh teknologi dengan cepat. Seolah-olah tidak ada lagi waktu untuk memikirkan
ulang ini penting atau tidak, ini kita butuhkan atau tidak. Jejalan iklan yang
masuk mempengaruhi perilaku pasar untuk mengatakan iya pada sesuatu yang
sebenarnya bisa kita jawab dengan tidak.
Pendidikan tidak lepas
dari pesatnya teknologi ini. Terutama Teknologi Informasi yang merambah sampai
ke setiap individu pelaku pendidikan, baik siswa, guru, dan juga orang tua.
Teknologi mengubah cara belajar siswa dan guru. Dahulu, untuk mendapatkan
informasi perihal pelajaran begitu sulitnya hingga harus benar-benar
memperhatikan di kelas agar tidak ketinggalan. Mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan sulit juga menjadi sangat menantang. Teknologi hadir
memudahkan semuanya.
Pendidikan, Teknologi, dan Manusia (Photo by John Schnobrich on Unsplash) |
Pendidikan dan
Teknologi
Dalam bukunya yang
berjudul Memanusiakan Sekolah Memanusiakan Manusia, Haidar Bagir menuliskan
bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia
sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni, mengaktualkan berbagai
potensi untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan bahagia.
Yakni manusia-manusia yang memiliki kehidupan penuh makna, bagi orang lain, dan
bagi dirinya sendiri.
Kehadiran teknologi
seharusnya menjadi jembatan untuk mengaktualkan potensi manusia. Teknologi bisa
menjadi alternative memangkas jarak yang jauh antara siswa dan guru. Guru yang
jauh secara jarak, bisa didekatkan karena adanya teknologi. Sebut saja, telepon
cerdas dengan segala fitur yang dibawanya menjadikan pendidikan sangat asyik
dan menyenangkan.
Penjelasan atas soal
rumit, bimbingan belajar, contoh proyek, bisa didapatkan dengan mudah karena
hadirnya teknologi ini. Siswa dengan mudah mengakses kembali pelajaran-pelajaran
yang sudah didapatkannya di kelas dengan mengulang pelajaran di rumah.
Meng-install atau
memasang aplikasi belajar juga memudahkan guru memantau secara mandiri
pekerjaan yang sudah dilakukan oleh siswanya dari mana saja. Guru tinggal
memasukan soal, masalah, atau proyek pembelajaran ke dalam aplikasi untuk
dikerjakan siswa di mana pun.
Ada beberapa sekolah
yang menggunakan pendekatan teknologi dalam belajarnya. Ada pula yang mengambil
jalan tengah atas kebutuhan teknologi ini. Namun ada pula yang secara jelas
mengurangi bahkan cenderung untuk menolak kehadiran teknologi ini. Ingat pada
masa-masa yang lalu kita pernah mendapatkan berita tentang para petinggi di
Silicon Valley yang menyekolahkan anaknya ke sekolah waldorf, sekolah yang
dianggap alami dan tepat untuk pendidikan yang sehat bagi anak-anaknya. Sekolah
waldorf memandang bahwa kehadiran teknologi ini hanya dibutuhkan orang dewasa
untuk melakukan kerja-kerjanya tetapi bukan untuk diberikan kepada anak-anak.
Anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan diri sebaiknya tidak terpapar
oleh teknologi yang bisa merenggut masa kecilnya. Misalnya waktu bermain di
luar ruangan, kemampuan berimajinasi, kemampuan berpikir, dan kemampuan lainnya
yang akan anak-anak butuhkan di masa yang akan datang.
Sehatnya
Pembelajaran
Aspek lain yang perlu
diperhatikan adalah kesehatan dalam pembelajaran. Sehatnya sebuah proses
pembelajaran bisa dilihat dari bagaimana siswa dan guru bergiat sehari-hari di sekolah, tentang bagaimana mereka membawakan dirinya, tentang bagaimana dalam berinteraksi satu sama lain, tentang bagaimana secara komunitas bisa saling mendukung. Tak kalah penting dalam menjaga kesehatan ini adalah interaksi antara guru dengan orang tua.
Dari pengalaman
penulis dalam berinteraksi di kelas, kehadiran teknologi dalam pendidikan ini
bisa menjadi sehat jika memperhatikan aspek penting dalam kehidupan.
Pemanfaatan teknologi yang baik akan mendorong hasil belajar yang juga baik.
Memanusiakan hubungan lewat teknologi sangat memungkinkan dengan catatan
memperhatikan keseimbangan dan ritme dalam harian dengan sehat.
Dua hal penting untuk
diperhatikan mengenai kesehatan ini adalah keseimbangan dan ritme. Keduanya
seolah-olah tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena saling mendukung.
Tidak sedikit guru
yang kelelahan karena hadirnya teknologi ini. Guru menjadi tidak memiliki waktu
istirahat jika di luar jam belajar masih menghubungi atau dihubungi oleh baik
itu siswa atau pun oleh orang tua. Dalam hal ini penulis selalu menyarankan
kepada sejawat yang bekerja sebagai guru untuk mampu membatasi diri dalam
berinteraksi dengan siapapun dengan bantuan teknologi ini. Guru butuh jeda
dalam kesehariannya bergiat baik di sekolah maupun di rumah. Ketiadaan jeda
untuk guru bisa membuat ia kelelahan. Bisa dipastikan efek selanjutnya dari
kelelahan ini adalah kesehatan guru yang akan terganggu.
Demikian halnya dengan
ritme, guru harus mampu memainkan ritme dengan sebaik-baiknya dalam penggunaan
teknologi ini. Dalam beberapa artikel tentang gangguan dari kehadiran teknologi
ini adalah waktu tidur yang berkurang. Dalam berita Kompas, Menurut penelitian dari seorang profesor asal Universitas
Monash, Shantha Rajaratnam, cahaya layar yang menyala dari ponsel dan tablet
ternyata dapat mengganggu siklus tidur dari tubuh Anda. Semakin dekat cahaya
layar ke muka, maka pengguna akan semakin sulit untuk tidur. Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rensselaer Polytechnic Institute di New
York, AS. Menurut para ahli, seperti dikutip dari Phone Arena, Senin
(22/7/2013), paparan cahaya dari tablet dapat menurunkan kadar hormon melatonin
dalam tubuh hingga 23 persen. Melatonin adalah zat alami dalam tubuh yang
membantu seseorang untuk tidur dengan cara memberitahukan tubuh bahwa situasi
di sekitarnya sudah gelap dan ini saatnya untuk tidur.
Beberapa orang siswa dalam kelas setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Bandung yang pernah dikelola oleh penulis mengaku mengalami kesulitan tidur. Alhasil, keesokan harinya ia menjadi kelelahan,
lemas, mengantuk, dan malas untuk belajar. Seringkali dikomunikasikan dengan
orang tua perihal pentingnya mengurangi penggunaan handphone di malam hari ini.
Namun, dalam skala yang lebih luas, handphone seolah menjadi barang pribadi
yang penggunaannya tidak bisa diintervensi oleh orang lain. Guru dan orang tua
pada akhirnya hanya bisa menyarankan untuk kebaikan dari siswa dalam masa-masa
belajarnya.
Alhasil, penggunaan teknologi dalam pembelajaran baik dalam rangka memanusiakan hubungan, memanusiakan
manusia perlu kita pikirkan secara matang-matang segala aspek baik atau
buruknya. Pada akhirnya semua akan kembali kepada para pelaku pendidikan yang
menjadi tokoh utama dalam gerakan ini. Keberadaan teknologi yang membawa dua
sisi mata pedang harus menjadi perhatian agar interaksi langsung dalam hubungan
antar manusia bisa tetap terjaga. Teknologi bukan menjadi pemisah atau jurang
kesenjangan. Teknologi menjadi alat pemersatu dan interaksi langsung hubungan
antar manusia satu dengan lainnya tetap terjalin dengan kuat.
Iden Wildensyah, bergiat di Komunitas Belajar Arunika Waldorf.
0 Response to "Pendidikan, Teknologi, dan Manusia"
Posting Komentar